Senin, 16 Juli 2012

Seperti 3 Tahun yang Lalu



Angin pagi menyambut hari, dedaunan basah, pepohonan menari-nari dengan angin dan rintik hujan. Langit membiru haru, kicau burung berganti nyanyian hujan, kepakan sayap kupu-kupu berganti hembusan angin, tanahpun mulai menebar wanginya. Hawa dingin menusuk sampai ke tulang, sapaan hangat sang mentari tak lagi kurasa. Salam hangat dari sinarnya kini berganti kabut. Gelap mengepung, langit tak lagi berhias awan putih. Abu-abu kini warnamu. Seperti itulah kira-kira pemandangan pagi selama 2 bulan ini. Aku benci hujan di pagi hari. Aku tidak tahu kapan tepatnya aku mulai membenci itu, namun yang pasti aku membencinya. Udara dingin merayuku untuk kembali terbaring di tumpukan busa ini. Namun aku belum cukup kuat untuk mengangkat tubuhku dari tumpukan busa ini. Meskipun pagi ini mentari belum terlihat di ufuk timur, tetapi itu tak bisa menjadi alasan untuk tetap terlena di kegelapan pagi ini.
Sepertinya alam tahu betul apa yang sedang kurasakan saat ini. Laiknya hujan di pagi hari. Pikiran ku tertutup tebalnya kabut, mataku seperti awan mendung yang tak lama lagi akan meneteskan air karena telah membendung begitu banyak air dan kemudian jatuh. Ini kali pertamanya aku benar-benar jatuh dan merasakan betapa sulitnya untuk bangkit kembali, betapa sulitnya menyusun kembali serpihan semangat hidupku yang berserakan, tertiup angin dan kemudian beberapa dari serpihan itu hilang. Sepertinya kini hatiku telah membeku.
Lelaki yang lebih kurang sudah ku kenal selama 3 tahun itu kini tak akan lagi menghias hari dan menyambut pagi. Kepercayaannya, cinta, dan kasihnya harus ia korbankan untuk wanita yang selama 3 tahun ini menemani hari-harinya. Kami saling melengkapi satu sama lain. Namun kini semua itu hanya tinggal kenangan masa lalu. Karena 3 minggu lagi aku harus menempuh hidup baru bersama lelaki pilihan orangtuaku. Keadaan yang memaksaku. Aku tak punya pilihan lain, lari dari kenyataanpun rasanya tak mungkin. Aku merasa belum bisa memberikan apa-apa kepada orangtuaku sampai saat ini. Mungkin hanya dengan cara ini aku membalas budi baik mereka kepadaku. Selama 3 tahun ini kami dekat, sebatas sahabat. Bodohnya kami yang baru belakangan ini menyadari bahwa mulai tumbuh benih-benih cinta diantara kami. Bodohnya kami yang terlalu mementingkan ego dibandingkan perasaan kami. Kini kami berdua harus mengubur dalam-dalam perasaan cinta yang terlanjur tumbuh ini. Sekarang, kami harus menelan pahitnya semua ini karena kenyataan tidak selalu seperti apa yang kita ingin dan pikirkan sebelumnya. Aku ingat betul bagaimana awal perkenalanku dengan Nino 3 tahun silam.
Facebook lah yang mengawali perkenalanku dengan Nino. Siang itu aku duduk di teras depan rumah sambil memperhatikan tulisan-tulisan di layar handphoneku.
Nino Baskoro wants to be your friend” kemudian aku mengkonfirmasinya sebagai teman dan mengiriminya wall.
thankyou” dan beberapa menit kemudian nino membalasnya
yes, you’re welcome. Nice to know you”
Bermula dari wall Facebook, semakin lama kami semakin dekat dan aku mulai merasa nyaman dengannya. Aku sering bercerita tentang keluarga dan kerabat dekat bahkan hidupku kepadanya. Ia selalu bisa memberikan solusi terhadap semua masalah yang pernah kuhadapi. Tak peduli seburuk apapun keadaan psikologis dan fisikku saat itu, ia tak kenal lelah menyemangatiku dan meyakinkanku bahwa sebesar apapun masalah yang sedang kuhadapi saat itu, Allah akan selalu membuka jalan keluar untukku.
man jadda wajada berlian, siapa yang bersungguh-sungguh pasti akan berhasil” sepenggal kalimat yang tak hentinya terngiang di telingaku sampai saat ini. Kami terlampau sering menghabiskan waktu bersama, bercerita, bersenandung dan 1 kebiasaan kami yang selama lebih kurang 3 tahun silam terus kami lakukan. Memandangi langit malam beserta isinya.
kau harus lihat kuasa sang pencipta, bagaimana dengan sempurnannya ia menciptakan semesta beserta isinya tanpa ada cacat sedikitpun. Ikutlah denganku, kita akan berdamai dengan alam”
Dan tanpa pikir panjang aku langsung memutuskan untuk ikut dengannya. Malam itu kami membaringkan tubuh di rerumputan taman kota.
lihat” ujar Nino sambil menunjuk ke arah langit.
Kelopak mataku melebar, mulutku mulai menganga karena kagum akan keindahan langit malam itu. Aku menatap Nino, dan Nino pun menatapku. Kami tersenyum, dan kemudian menatap lagi ke arah langit.
No, aku harap ini bukan terakhir kalinya aku dapat memandangi lagit malam. Aku masih punya malam-malam selanjutnya kan no?”
kamu selalu punya langit malam untuk dipandangi kapan dan dimanapun kau berada lin. Selagi bisa, aku akan terus menemanimu laiknya malam ini”
apakah itu sebuah janji?”
yes, I promise!” dengan tegas ia menjawab pertanyaan itu. Dan dibawah langit malam, di bawah gemerlap jutaan bintang di langit, dengan semilir angin malam yang dingin, Nino menggenggam tanganku.
Malam itu aku seperti terhipnotis keindahan alam dan keindahan seorang Nino yang baru saja menyadarkanku bahwa dunia tak hanya selebar daun talas. Bahwa aku, seorang Berlian oktaviana masih memiliki kemungkinan untuk menapakkan kaki di negara impianku, Perancis. Tak terasa, sudah 1 jam kami menikmati pemandangan langit malam itu. Lalu, nino mengajakku ke kafe favorit kami. Nino menghidupkan laptop dan membuka internet.
Suatu saat, aku pasti kesana.” Sambil menunjuk ke foto menara eiffel yang ada di laptop Nino.
Man jadda wajada berlian. You just have to believe and keep trying. Never give up. Selebihnya, biarkan Tuhan yang menjawab doa dan usahamu”
nino, I haven’t any reasons for give up” Nino tersenyum yakin kepadaku.
Kami sedikit berbincang-bincang tentang Paris malam itu. Nino juga bercerita kepadaku bahwa ia memiliki sahabat baik yang mendapatkan beasiswa untuk bersekolah di salah satu universitas di Paris. Padahal sahabatnya itu adalah seseorang yang lahir dari keluarga sederhana. Sama halnya dengan diriku. terlahir dari keluarga yang bukan serba berkecukupan namun aku selalu berusaha untuk tidak mengeluh, karena semua yang aku miliki sekarang adalah karunia-Nya. Seburuk apapun itu, aku yakin pasti masih ada sisi baik dari semua ini. Tuhan tidak buta. Ia mengetahui apa yang kita butuhkan. Bukan apa yang kita inginkan.
ini dia orangnya” menunjuk ke sebuah nama di akun facebooknya.
gemilang akbar
jadi kalau dihitung-hitung sudah 5 tahun dia bersekolah di Paris.” Nino meneruskan.
Malam itu pikiranku melayang terbang jauh menembus batas. Entah mengapa malam itu aku memikirkan tentang masa depanku. Masa depan pribadiku, keluargaku dan masa depan hubungan persahabatan kami. Aku hanya terlalu takut kehilangan dia. Orang yang selama ini selalu menemani hari-hariku, mengisi kekosonganku dan penghibur sejatiku. Bagaimana jika aku tak punya waktu lama lagi? Bagaimana jika aku belum sempat mewujudkan impianku untuk menjejakkan kaki di kota Paris? Bagaimana jika Nino tak lagi ada disampingku?
Sirosis, pengerasan hati. Itulah yang menjadi satu-satunya alasan mengapa aku tak henti-hentinya memikirkan soal waktu. Karena aku tak memiliki waktu lama lagi untuk tetap bertahan. Nino tidak pernah mengetahui soal penyakitku ini. Aku tidak ingin ia tahu, aku juga tak ingin Nino merubah sikapnya kepadaku jika ia mengetahui semua ini. Aku ingin Nino memperlakukanku selaiknya Berlian yang ia tahu. Bukan Berlian yang memiliki penyakit sirosis. aku tidak ingin orang-orang mengasihaniku, aku hanya ingin mereka mengetahui apa yang sudah aku berikan untuk hidup ini sebelum aku kembali ke sisi-Nya. Aku hanya tinggal menunggu waktu. Karena satu-satunya yang bisa menyelamatkanku adalah Donor hati. Kedengarannya mustahil memang.
Pikirianku kembali ke dalam rumah. Hari ini aku harus menerima kenyataan bahwa hidup tak selalu seperti apa yang kita inginkan. Bahwa Nino yang aku pikir tak akan mungkin meninggalkanku kini nyatanya harus benar-benar pergi jauh dari kehidupanku.
Malam sebelumya, aku mengirimkan e-mail kepada nino yang berisikan pesan penting yang selama ini aku tutupi darinya.
Nino sahabatku, sebelumnya terimakasih sudah menjadi hadiah terindah di hidupku selama 3 tahun belakangan ini. Terimakasih karena kau tak henti-hentinya membuat aku tersenyum dan menyadari bahwa dunia ini sebenarnya indah jika kita ingin sedikit berdamai dengannya. Terimakasih telah mengajakku menatapi langit di malam hari hampir setiap malam. Aku tak akan pernah melupakan hari pertama kita mulai berkenalan via facebook hingga sampai saat ini kau masih setia menjadi sahabatku. Akupun tak akan pernah melupakan hari pertama kau mengajakku menatapi langit malam dan kau menggenggam tanganku. Nino, aku tak memiliki banyak waktu lagi untuk ku habiskan bersamamu. Sirosis, pengerasan hati. Maaf kalau aku tak pernah bercerita tentang ini kepadamu. Aku hanya tak ingin kalau kau merubah sikapmu kepadaku setelah kau mengetahui semuanya. Aku sudah mengetahui semuanya dari sahabatmu, Dony. Ia bercerita semuanya tentang dirimu dan perasaanmu kepadaku. Akupun menyayangimu, bahkan lebih dari itu. akupun merasakan hal yang berbeda, perasaan ini bukan perasaan seorang sahabat kepada sahabatnya. Namun perasaan wanita kepada lawan jenisnya. Kau telah memberi banyak kenangan kepadaku, kau pun mengajarkan aku banyak hal. Nino, 3 minggu lagi aku akan menikah dengan lelaki pilihan orangtuaku. Aku tak punya pilihan lain, kau tahu kan bagaimana keadaan keluarga kami? Aku butuh biaya untuk mengobati penyakit yang bersarang di tubuhku ini. Maaf kalau aku tak memiliki keberanian lebih untuk membicarakan hal ini kepadamu. Terimakasih Nino untuk segalanya, untuk semua kebahagiaan yang terlajur kau berikan kepadaku, untuk setiap senyum yang kau ukir di wajahku, untuk semua pelajaran tentang hidup yang tak akan mungkin aku lupakan. “
Beberapa jam kemudian nino membalas e-mailku.
Berlian sahabatku, sekaligus orang yang sudah aku cintai sejak lama. Akupun berterimakasih karena kehadiranmu di hidupku membuka setitik cahaya yang kemudian menyinari keseluruhan hidupku. Maaf kalau aku belum berani mengatakan langsung kepadamu tentang perasaanku ini. aku hanya takut kalau semuanya berubah ketika kau mengetahui bahwa aku menyanyangimu lebih dari seorang sahabat. Maaf berlian, akupun tak memiliki waktu lama untuk ku habiskan bersamamu. Aku harus melanjutkan studiku ke hongkong selama lebih kurang 3 tahun. Aku hanya bisa mengikhlaskan kepergianmu dengan lelaki lain, dan berdoa semoga ia yang terbaik untukmu. Berlian, aku akan selalu berdoa untuk kesehatanmu. Semoga Allah mendengar semua doaku. Kamu masih memiliki kemungkinan untuk hidup berlian. Kau membutuhkan donor hati. Ingat kata-kataku? “man jadda wajada berlian, siapa yang bersungguh-sungguh pasti akan berhasil” sama halnya dengan penyakitmu. Jika kau bersungguh-sungguh memiliki niat dan tekad untuk sembuh, niscaya Tuhan akan memberikan jalan untukmu. Berlian, esok pagi-pagi sekali aku harus berangkat ke bandara untuk melakukan penerbangan menuju hongkong. Maaf jika kabar ini mengejutkanmu. Maaf juga kalau aku tak memberitahumu soal ini. kau tahu kan ini impian terbesarku? Maaf berlian, jika akupun harus pergi di saat yang tidak tepat. Aku berjanji akan kembali dan orang pertama yang aku temui adalah kau. Terimakasih berlian sudah hadir dalam kehidupanku dan menyinari semua sisi gelap di hidupku. I’ll come back, soon. I love you. “

Dan dengan berakhirnya pesan darinya, aku kini harus benar-benar bangun dari tidur panjangku. Bangkit dari semua rasa sedih dan kecewa. Aku harus kembali berlari dan melihat sekitarku. Entah mengapa setelah membaca pesan dari Nino, aku seperti percaya kalau aku pasti masih memiliki waktu bahkan mungkin sampai 3 tahun kedepan untuk menemui Nino.
man jadda wajada” keajaiban ternyata bukan dari sebuah dongeng. Malam itu aku terbaring di rumah sakit. Sore sebelumnya mulutku mengeluarkan banyak darah. Dokter bilang aku harus segera diberikan pertolongan. Kau tahu? Malam itu juga aku memasuki ruang operasi. Ya, aku menerima donor hati dari seseorang yang tak mau disebutkan namanya. Tapi satu yang aku tahu, calon suamikulah yang mencarikan pendonor hati untukku. Sungguh, tak pernah sedikitpun terbesit di pikiranku kalau dia akan melakukan hal ini. hal yang menyangkut hidup dan matiku. Padahal aku baru saja mengenalnya. Aku memeluknya, dan menangis di pelukannya. Aku tahu dia lelaki yang baik dan bertanggung jawab. Maka untuk membalas kebaikannya, aku bersedia dinikahinya.
3 tahun berlalu, kini aku sudah menjadi berlian yang berbeda. Berlian yang sekarang telah bersuami dan memiliki 2 orang anak balita. Aku hidup bahagia dengan keluargaku. Hidupku kini telah berubah, keadaan ekonomi keluargaku tak seburuk tahun-tahun sebelumnya. Suamiku adalah pimpinan di suatu perusahaan swasta terkenal di indonesia. Semuanya membaik, seperti apa yang aku harapkan. Seperti apa yang aku minta kepada Tuhan beberapa tahun lalu.
Siang ini aku tengah membeli pakaian untuk anak-anak ku di mall pusat kota. Setelah selesai membeli pakaian, aku memutuskan untuk duduk di kafe untuk menikmati secangkir cappucino. Kafe ini mengingatkan ku kepada Nino, sahabatku. Sudah 3 tahun ini aku samasekali tak mendengar kabar tentangnya. Mungkin ia terlalu sibuk dengan studinya. Di sudut, aku melihat seorang lelaki berpakaian rapih tengah sibuk memainkan iPad-nya. Wajahnya familiar, aku seperti mengenalnya. Sepertinya ia sadar kalau sedaritadi aku perhatikan. Ia langsung melemparkan pandangannya kepadaku.

berlian? Hey!” lelaki itu sedikit berteriak.
hmm ya?” aku menjawab ragu sambil dari kejauhan menerka-nerka siapa dia.
ini aku dony, kamu masih ingat kan?” sambil berjalan mendekatiku.
oh hey don,apa kabar?”
kabarku baik. Bagaimana denganmu? Ohiya aku membawakan berita untukmu. Entah akan menjadi berita baik atau buruk untukmu. Terkait soal Nino”
Siang itu dony bercerita tentang Nino. Ternyata, Nino pun sudah berkeluarga sekarang. Ia mendapatkan beasiswa untuk bersekolah di Australia. Ia telah memiliki satu anak. Dan kini ia telah berkewarganegaraan australia, Nino menikah dengan anak teman dari ayahnya. Beberapa bulan yang lalu ia pulang ke indonesia selama beberapa hari untuk urusan pekerjaan. Jadi ia tidak sempat mengunjungiku.
Mendengar berita itu, membuatku kembail ke beberapa tahun yang lalu saat aku membaca e-mail darinya. Ia mengatakan bahwa saat ia kembali ke indonesia, orang pertama yang akan ia temui adalah aku. Mungkin ia lupa dengan kata-katanya, mungkin kini aku tak ada lagi di ingatannya, mungkin ia telah mengubur dalam-dalam kenangan masa lalu kami berdua. Namun satu yang harus kau tahu No, sampai saat ini aku masih menunggumu. Menunggu kau hadir menepati janjimu menemuiku. Siang itu semua orang di kafe tempat aku duduk terlihat biasa. Akupun pasti terlihat biasa. Padahal hati ini seperti tertutup awan gelap yang tebal, mata ini telah membendung air yang sebentar lagi akan jatuh, jantungku memompa lebih cepat. Namun aku menyadari, seburuk apapun keadaan psikologisku saat itu. aku akan tetap terlihat biasa. Tak perduli sehancur apapun perasaanku ini, semua orang akan tetap memperlakukan seperti biasanya. Karena hanya kita yang mengerti apa yang kita rasakan sekarang, karena mereka tidak ada di posisi kita. Karena mereka tidak benar-benar mengerti apa yang kita rasakan walaupun mereka seringkali berkata. “sudah,aku mengerti kok apa yang kamu rasakan”. Mereka tidak benar-benar berada di posisi kita.
Butiran debu kini menari-nari di atas aspal hitam saat aku baru saja melangkah menuju kendaraan pribadiku. Pepohonan berjajar di pinggir jalan seakan menyapaku satu persatu. Matahari kini berganti awan mendung, angin sore menyapu desiran pasir coklat jalalan. Rintik hujan mulai jatuh membasahi bumi. Nyanyian burung seketika berganti irama hujan. Pikiranku kembali saat hari pertama mengetahui kalau Nino harus pergi, hari pertama setelah aku memberi tahu Nino bahwa aku akan menikah, dan hari terakhir aku menerima kabar darinya. Sore ini hujan turun, sama seperti 3 tahun yang lalu.[dov]

2 komentar: