Angin
pagi menyambut hari, dedaunan basah, pepohonan menari-nari dengan
angin dan rintik hujan. Langit membiru haru, kicau burung berganti
nyanyian hujan, kepakan sayap kupu-kupu berganti hembusan angin,
tanahpun mulai menebar wanginya. Hawa dingin menusuk sampai ke
tulang, sapaan hangat sang mentari tak lagi kurasa. Salam hangat dari
sinarnya kini berganti kabut. Gelap mengepung, langit tak lagi
berhias awan putih. Abu-abu kini warnamu. Seperti itulah kira-kira
pemandangan pagi selama 2 bulan ini. Aku benci hujan di pagi hari.
Aku tidak tahu kapan tepatnya aku mulai membenci
itu, namun yang pasti aku membencinya.
Udara dingin merayuku untuk kembali terbaring di tumpukan busa ini.
Namun aku belum cukup kuat untuk mengangkat tubuhku dari tumpukan
busa ini. Meskipun pagi ini mentari belum terlihat di ufuk timur,
tetapi itu tak bisa menjadi alasan untuk tetap terlena di kegelapan
pagi ini.
Sepertinya
alam tahu betul apa yang sedang kurasakan saat ini. Laiknya hujan di
pagi hari. Pikiran ku tertutup tebalnya kabut, mataku seperti awan
mendung yang tak lama lagi akan meneteskan air karena telah
membendung begitu banyak air dan kemudian jatuh. Ini kali pertamanya
aku benar-benar jatuh dan merasakan betapa sulitnya untuk bangkit
kembali, betapa sulitnya menyusun kembali serpihan semangat hidupku
yang berserakan, tertiup angin dan kemudian beberapa dari serpihan
itu hilang. Sepertinya kini hatiku telah membeku.
Lelaki
yang lebih kurang sudah ku kenal selama 3 tahun itu kini tak akan
lagi menghias hari dan menyambut pagi. Kepercayaannya, cinta, dan
kasihnya harus ia korbankan untuk wanita yang selama 3 tahun ini
menemani hari-harinya. Kami saling melengkapi satu sama lain. Namun
kini semua itu hanya tinggal kenangan masa lalu. Karena 3 minggu lagi
aku harus menempuh hidup baru bersama lelaki pilihan orangtuaku.
Keadaan yang memaksaku. Aku tak punya pilihan lain, lari dari
kenyataanpun rasanya tak mungkin. Aku merasa belum bisa memberikan
apa-apa kepada orangtuaku sampai saat ini. Mungkin hanya dengan cara
ini aku membalas budi baik mereka kepadaku. Selama 3 tahun ini kami
dekat, sebatas sahabat. Bodohnya kami yang baru belakangan ini
menyadari bahwa mulai tumbuh benih-benih cinta diantara kami.
Bodohnya kami yang terlalu mementingkan ego dibandingkan perasaan
kami. Kini kami berdua harus mengubur dalam-dalam perasaan cinta yang
terlanjur tumbuh ini. Sekarang, kami harus menelan pahitnya semua ini
karena kenyataan tidak selalu seperti apa yang kita ingin dan
pikirkan sebelumnya. Aku ingat betul bagaimana awal perkenalanku
dengan Nino 3 tahun silam.
Facebook
lah yang mengawali perkenalanku dengan Nino. Siang itu aku duduk di
teras depan rumah sambil memperhatikan tulisan-tulisan di layar
handphoneku.
“Nino
Baskoro wants to be your friend” kemudian aku mengkonfirmasinya
sebagai teman dan mengiriminya wall.
“thankyou”
dan beberapa menit kemudian nino membalasnya
“yes,
you’re welcome. Nice to know you”
Bermula
dari wall Facebook, semakin lama kami semakin dekat dan aku mulai
merasa nyaman dengannya. Aku sering bercerita tentang keluarga dan
kerabat dekat bahkan hidupku kepadanya. Ia selalu bisa memberikan
solusi terhadap semua masalah yang pernah kuhadapi. Tak peduli
seburuk apapun keadaan psikologis dan fisikku saat itu, ia tak kenal
lelah menyemangatiku dan meyakinkanku bahwa sebesar apapun masalah
yang sedang kuhadapi saat itu, Allah akan selalu membuka jalan keluar
untukku.
“man
jadda wajada berlian, siapa yang bersungguh-sungguh pasti akan
berhasil” sepenggal kalimat yang tak hentinya terngiang di
telingaku sampai saat ini. Kami terlampau sering menghabiskan waktu
bersama, bercerita, bersenandung dan 1 kebiasaan kami yang selama
lebih kurang 3 tahun silam terus kami lakukan. Memandangi langit
malam beserta isinya.
“kau
harus lihat kuasa sang pencipta, bagaimana dengan sempurnannya ia
menciptakan semesta beserta isinya tanpa ada cacat sedikitpun.
Ikutlah denganku, kita akan berdamai dengan alam”
Dan
tanpa pikir panjang aku langsung memutuskan untuk ikut dengannya.
Malam itu kami membaringkan tubuh di rerumputan taman kota.
“lihat”
ujar Nino sambil menunjuk ke arah langit.
Kelopak
mataku melebar, mulutku mulai menganga karena kagum akan keindahan
langit malam itu. Aku menatap Nino, dan Nino pun menatapku. Kami
tersenyum, dan kemudian menatap lagi ke arah langit.
“No,
aku harap ini bukan terakhir kalinya aku dapat memandangi lagit
malam. Aku masih punya malam-malam selanjutnya kan no?”
“kamu
selalu punya langit malam untuk dipandangi kapan dan dimanapun kau
berada lin. Selagi bisa, aku akan terus menemanimu laiknya malam
ini”
“apakah
itu sebuah janji?”
“yes,
I promise!” dengan tegas ia menjawab pertanyaan itu. Dan dibawah
langit malam, di bawah gemerlap jutaan bintang di langit, dengan
semilir angin malam yang dingin, Nino menggenggam tanganku.
Malam
itu aku seperti terhipnotis keindahan alam dan keindahan seorang Nino
yang baru saja menyadarkanku bahwa dunia tak hanya selebar daun
talas. Bahwa aku, seorang Berlian oktaviana masih memiliki
kemungkinan untuk menapakkan kaki di negara impianku, Perancis. Tak
terasa, sudah 1 jam kami menikmati pemandangan langit malam itu.
Lalu, nino mengajakku ke kafe favorit kami. Nino menghidupkan laptop
dan membuka internet.
“Suatu
saat, aku pasti kesana.” Sambil menunjuk ke foto menara eiffel yang
ada di laptop Nino.
“Man
jadda wajada
berlian. You just have to believe and keep trying. Never give up.
Selebihnya, biarkan Tuhan yang menjawab doa dan usahamu”
“nino,
I haven’t any reasons for give up” Nino tersenyum yakin kepadaku.
Kami
sedikit berbincang-bincang tentang Paris malam itu. Nino juga
bercerita kepadaku bahwa ia memiliki sahabat baik yang mendapatkan
beasiswa untuk bersekolah di salah satu universitas di Paris. Padahal
sahabatnya itu adalah seseorang yang lahir dari keluarga sederhana.
Sama halnya dengan diriku. terlahir dari keluarga yang bukan serba
berkecukupan namun aku selalu berusaha untuk tidak mengeluh, karena
semua yang aku miliki sekarang adalah karunia-Nya. Seburuk apapun
itu, aku yakin pasti masih ada sisi baik dari semua ini. Tuhan tidak
buta. Ia mengetahui apa yang kita butuhkan. Bukan apa yang kita
inginkan.
“ ini
dia orangnya” menunjuk ke sebuah nama di akun facebooknya.
“
gemilang akbar”
“jadi
kalau dihitung-hitung sudah 5 tahun dia bersekolah di Paris.” Nino
meneruskan.
Malam
itu pikiranku melayang terbang jauh menembus batas. Entah mengapa
malam itu aku memikirkan tentang masa depanku. Masa depan pribadiku,
keluargaku dan masa depan hubungan persahabatan kami. Aku hanya
terlalu takut kehilangan dia. Orang yang selama ini selalu menemani
hari-hariku, mengisi kekosonganku dan penghibur sejatiku. Bagaimana
jika aku tak punya waktu lama lagi? Bagaimana jika aku belum sempat
mewujudkan impianku untuk menjejakkan kaki di kota Paris? Bagaimana
jika Nino tak lagi ada disampingku?
Sirosis,
pengerasan hati. Itulah yang menjadi satu-satunya alasan mengapa aku
tak henti-hentinya memikirkan soal waktu. Karena aku tak memiliki
waktu lama lagi untuk tetap bertahan. Nino tidak pernah mengetahui
soal penyakitku ini. Aku tidak ingin ia tahu, aku juga tak ingin Nino
merubah sikapnya kepadaku jika ia mengetahui semua ini. Aku ingin
Nino memperlakukanku selaiknya Berlian yang ia tahu. Bukan Berlian
yang memiliki penyakit sirosis. aku tidak ingin orang-orang
mengasihaniku, aku hanya ingin mereka mengetahui apa yang sudah aku
berikan untuk hidup ini sebelum aku kembali ke sisi-Nya. Aku hanya
tinggal menunggu waktu. Karena satu-satunya yang bisa menyelamatkanku
adalah Donor hati. Kedengarannya mustahil memang.
Pikirianku
kembali ke dalam rumah. Hari ini aku harus menerima kenyataan bahwa
hidup tak selalu seperti apa yang kita inginkan. Bahwa Nino yang aku
pikir tak akan mungkin meninggalkanku kini nyatanya harus benar-benar
pergi jauh dari kehidupanku.
Malam
sebelumya, aku mengirimkan e-mail kepada nino yang berisikan pesan
penting yang selama ini aku tutupi darinya.
“ Nino
sahabatku, sebelumnya terimakasih sudah menjadi hadiah terindah di
hidupku selama 3 tahun belakangan ini. Terimakasih karena kau tak
henti-hentinya membuat aku tersenyum dan menyadari bahwa dunia ini
sebenarnya indah jika kita ingin sedikit berdamai dengannya.
Terimakasih telah mengajakku menatapi langit di malam hari hampir
setiap malam. Aku tak akan pernah melupakan hari pertama kita mulai
berkenalan via facebook
hingga sampai saat
ini kau masih setia menjadi sahabatku. Akupun tak akan pernah
melupakan hari pertama kau mengajakku menatapi langit malam dan kau
menggenggam tanganku. Nino, aku tak memiliki banyak waktu lagi untuk
ku habiskan bersamamu. Sirosis, pengerasan hati. Maaf kalau aku tak
pernah bercerita tentang ini kepadamu. Aku hanya tak ingin kalau kau
merubah sikapmu kepadaku setelah kau mengetahui semuanya. Aku sudah
mengetahui semuanya dari sahabatmu, Dony. Ia bercerita semuanya
tentang dirimu dan perasaanmu kepadaku. Akupun menyayangimu, bahkan
lebih dari itu. akupun merasakan hal yang berbeda, perasaan ini bukan
perasaan seorang sahabat kepada sahabatnya. Namun perasaan wanita
kepada lawan jenisnya. Kau telah memberi banyak kenangan kepadaku,
kau pun mengajarkan aku banyak hal. Nino, 3 minggu lagi aku akan
menikah dengan lelaki pilihan orangtuaku. Aku tak punya pilihan lain,
kau tahu kan bagaimana keadaan keluarga kami? Aku butuh biaya untuk
mengobati penyakit yang bersarang di tubuhku ini. Maaf kalau aku tak
memiliki keberanian lebih untuk membicarakan hal ini kepadamu.
Terimakasih Nino untuk segalanya, untuk semua kebahagiaan yang
terlajur kau berikan kepadaku, untuk setiap senyum yang kau ukir di
wajahku, untuk semua pelajaran tentang hidup yang tak akan mungkin
aku lupakan. “
Beberapa
jam kemudian nino membalas e-mailku.
“
Berlian sahabatku, sekaligus orang
yang sudah aku cintai sejak lama. Akupun berterimakasih karena
kehadiranmu di hidupku membuka setitik cahaya yang kemudian menyinari
keseluruhan hidupku. Maaf kalau aku belum berani mengatakan langsung
kepadamu tentang perasaanku ini. aku hanya takut kalau semuanya
berubah ketika kau mengetahui bahwa aku menyanyangimu lebih dari
seorang sahabat. Maaf berlian, akupun tak memiliki waktu lama untuk
ku habiskan bersamamu. Aku harus melanjutkan studiku ke hongkong
selama lebih kurang 3 tahun. Aku hanya bisa mengikhlaskan kepergianmu
dengan lelaki lain, dan berdoa semoga ia yang terbaik untukmu.
Berlian, aku akan selalu berdoa untuk kesehatanmu. Semoga Allah
mendengar semua doaku. Kamu masih memiliki kemungkinan untuk hidup
berlian. Kau membutuhkan donor hati. Ingat kata-kataku? “man
jadda wajada
berlian, siapa yang bersungguh-sungguh pasti akan berhasil” sama
halnya dengan penyakitmu. Jika kau bersungguh-sungguh memiliki niat
dan tekad untuk sembuh, niscaya Tuhan akan memberikan jalan untukmu.
Berlian, esok pagi-pagi sekali aku harus berangkat ke bandara untuk
melakukan penerbangan menuju hongkong. Maaf jika kabar ini
mengejutkanmu. Maaf juga kalau aku tak memberitahumu soal ini. kau
tahu kan ini impian terbesarku? Maaf berlian, jika akupun harus pergi
di saat yang tidak tepat. Aku berjanji akan kembali dan orang pertama
yang aku temui adalah kau. Terimakasih berlian sudah hadir dalam
kehidupanku dan menyinari semua sisi gelap di hidupku. I’ll come
back, soon. I love you. “
Dan
dengan berakhirnya pesan darinya, aku kini harus benar-benar bangun
dari tidur panjangku. Bangkit dari semua rasa sedih dan kecewa. Aku
harus kembali berlari dan melihat sekitarku. Entah mengapa setelah
membaca pesan dari Nino, aku seperti percaya kalau aku pasti masih
memiliki waktu bahkan mungkin sampai 3 tahun kedepan untuk menemui
Nino.
“man
jadda wajada”
keajaiban ternyata bukan dari sebuah dongeng. Malam itu aku terbaring
di rumah sakit. Sore sebelumnya mulutku mengeluarkan banyak darah.
Dokter bilang aku harus segera diberikan pertolongan. Kau tahu? Malam
itu juga aku memasuki ruang operasi. Ya, aku menerima donor hati dari
seseorang yang tak mau disebutkan namanya. Tapi satu yang aku tahu,
calon suamikulah yang mencarikan pendonor hati untukku. Sungguh, tak
pernah sedikitpun terbesit di pikiranku kalau dia akan melakukan hal
ini. hal yang menyangkut hidup dan matiku. Padahal aku baru saja
mengenalnya. Aku memeluknya, dan menangis di pelukannya. Aku tahu dia
lelaki yang baik dan bertanggung jawab. Maka untuk membalas
kebaikannya, aku bersedia dinikahinya.
3
tahun berlalu, kini aku sudah menjadi berlian yang berbeda. Berlian
yang sekarang telah bersuami dan memiliki 2 orang anak balita. Aku
hidup bahagia dengan keluargaku. Hidupku kini telah berubah, keadaan
ekonomi keluargaku tak seburuk tahun-tahun sebelumnya. Suamiku adalah
pimpinan di suatu perusahaan swasta terkenal di indonesia. Semuanya
membaik, seperti apa yang aku harapkan. Seperti apa yang aku minta
kepada Tuhan beberapa tahun lalu.
Siang
ini aku tengah membeli pakaian untuk anak-anak ku di mall pusat kota.
Setelah selesai membeli pakaian, aku memutuskan untuk duduk di kafe
untuk menikmati secangkir cappucino. Kafe ini mengingatkan ku kepada
Nino, sahabatku. Sudah 3 tahun ini aku samasekali tak mendengar kabar
tentangnya. Mungkin ia terlalu sibuk dengan studinya. Di sudut, aku
melihat seorang lelaki berpakaian rapih tengah sibuk memainkan
iPad-nya. Wajahnya familiar, aku seperti mengenalnya. Sepertinya ia
sadar kalau sedaritadi aku perhatikan. Ia langsung melemparkan
pandangannya kepadaku.
“
berlian? Hey!” lelaki itu sedikit
berteriak.
“hmm
ya?” aku menjawab ragu sambil dari kejauhan menerka-nerka siapa
dia.
“ini
aku dony, kamu masih ingat kan?” sambil berjalan mendekatiku.
“oh
hey don,apa kabar?”
“kabarku
baik. Bagaimana denganmu? Ohiya aku membawakan berita untukmu. Entah
akan menjadi berita baik atau buruk untukmu. Terkait soal Nino”
Siang
itu dony bercerita tentang Nino. Ternyata, Nino pun sudah berkeluarga
sekarang. Ia mendapatkan beasiswa untuk bersekolah di Australia. Ia
telah memiliki satu anak. Dan kini ia telah berkewarganegaraan
australia, Nino menikah dengan anak teman dari ayahnya. Beberapa
bulan yang lalu ia pulang ke indonesia selama beberapa hari untuk
urusan pekerjaan. Jadi ia tidak sempat mengunjungiku.
Mendengar
berita itu, membuatku kembail ke beberapa tahun yang lalu saat aku
membaca e-mail darinya. Ia mengatakan bahwa saat ia kembali ke
indonesia, orang pertama yang akan ia temui adalah aku. Mungkin ia
lupa dengan kata-katanya, mungkin kini aku tak ada lagi di
ingatannya, mungkin ia telah mengubur dalam-dalam kenangan masa lalu
kami berdua. Namun satu yang harus kau tahu No, sampai saat ini aku
masih menunggumu. Menunggu kau hadir menepati janjimu menemuiku.
Siang itu semua orang di kafe tempat aku duduk terlihat biasa. Akupun
pasti terlihat biasa. Padahal hati ini seperti tertutup awan gelap
yang tebal, mata ini telah membendung air yang sebentar lagi akan
jatuh, jantungku memompa lebih cepat. Namun aku menyadari, seburuk
apapun keadaan psikologisku saat itu. aku akan tetap terlihat biasa.
Tak perduli sehancur apapun perasaanku ini, semua orang akan tetap
memperlakukan seperti biasanya. Karena hanya kita yang mengerti apa
yang kita rasakan sekarang, karena mereka tidak ada di posisi kita.
Karena mereka tidak benar-benar mengerti apa yang kita rasakan
walaupun mereka seringkali berkata. “sudah,aku mengerti kok apa
yang kamu rasakan”. Mereka tidak benar-benar berada di posisi kita.
Butiran
debu kini menari-nari di atas aspal hitam saat aku baru saja
melangkah menuju kendaraan pribadiku. Pepohonan berjajar di pinggir
jalan seakan menyapaku satu persatu. Matahari kini berganti awan
mendung, angin sore menyapu desiran pasir coklat jalalan. Rintik
hujan mulai jatuh membasahi bumi. Nyanyian burung seketika berganti
irama hujan. Pikiranku kembali saat hari pertama mengetahui kalau
Nino harus pergi, hari pertama setelah aku memberi tahu Nino bahwa
aku akan menikah, dan hari terakhir aku menerima kabar darinya. Sore
ini hujan turun, sama seperti 3 tahun yang lalu.[dov]