Minggu, 10 September 2017

SURAT CINTA UNTUK REMBULAN MERAH



Bagian pertama.

Hai, Rembulan merah kesukaanku. Rembulan pembawa hangat bagi hatiku. Apa kabar kamu dia atas sana? Lama sekali rasanya sejak terakhir kali aku melihat warnamu yang kemerahan. Kamu lebih sering terlihat pucat. Aku rindu kemerahanmu.

Rembulan, aku tahu rasanya ini sangat terlambat bagiku untuk menulis surat ini. I know I should’ve wrote this just before you left. Namun aku menulis surat ini dengan kesadaran penuh akan perasaanku yang tak mungkin ku tampik lagi.

Rembulan, kau tahu aku tak perlu menanti hingga malam tiba untuk menyadari kalau kau adalah satusatunya hal terindah yang pernah singgah di hatiku. Sejak kali pertama aku jumpa denganmu, siang itu. Kemeja hijau kota-kotak milikmu, sepasang mata coklat, dan selengkung senyum yang tersungging di bibirmu seakan terpatri di ingatanku. Aku masih ingat bagaimana geletar di dadaku menyeruak ke sekujur tubuhku saat itu. Semuanya masih jelas, terlalu jelas untuk ku hapus dari ingatan.

Rembulan, kau tahu? Pernah ada dongeng tentang seorang pemuda dari pulau seberang yang berlayar di lautan lepas seorang diri. Ia tak tahu betul kemana arah yang ia tuju. Tanpa kompas, tanpa bekal apapun, pemuda itu terus berlayar menuju suatu tepat yang entah. Dalam perjalanan nya, ia beberapa kali singgah di pulau nan indah—sekadar untuk istirah. Pulau-pulau tersebut, seakan mengajaknya untuk tinggal disana. Karena ia hanyalah seorang pemuda pengelana dan seorang diri, maka ia tak kuasa menahan bujuk rayu pulau-pulau nan indah itu. Sebulan, duabulan ia lalui. Ia tak merasa sendiri lagi, pulau dan seisinya melengkapi perlajanan pemuda tersebut. Namun, ia merasa tak bisa tinggal terlalu lama. Karena bukan itulah tujuan akhirnya, kapalnya harus tetap berlayar. Kemanapun. Karena itulah dia. Seorang petualang.

Lautan baginya, adalah hamparan misteri dan rahasia yang harus ia pecahkan. Senja kemerahan di ufuk barat, hingga mentari yang dengan gagahnya terbit—cahayanya menerpa, menembus layar dan sela sela perahu miliknya. Tatkala malam tiba, air menjadi tenang, bintang-bintang berhamburan di langit seakan berkedip menyapa semesta raya. Namun bukan itu yang paling ia nanti tatkala malam tiba. Bukan kerlipan bintang-bintang, ataupun hembusan angin malam yang dinginnya menyeruak hingga ke tulang. Bulan putih pucat, itulah ujung penantiannya saat malam.

Setelah berlayar cukup jauh seorang diri, akhirnya ia menemukan pulau lain. Pulau tersebut tak lebih besar, tak lebih indah, tak lebih menarik dari pulau-pulau yang pernah ia singgahi. Tak ada pepohonan yang berbuah banyak, tak jua sekadar rerumputan hijau tuk merebah. Meski begitu, ia tetap memutuskan tuk beristirahat disana malam itu. Deburan ombak, embusan angin malam yang meniup lembut telinganya, juga bintang-bintang yang sama adalah teman. Pemuda itu merebah, meletakkan kedua tangannya di belakang kepala, menatap langit di atasnya. Tak ada bulan putih kesukaannya, hanya langit hitam pekat yang bisa ia saksikan malam itu.

Perlahan cahaya keemasan mulai muncul dari sela-sela awan. Semakin jelas, langit malam tersibak. Mata pemuda itu melebar, mulutnya menganga menyaksikannya. Langit malam tak lagi hitam, purnama telah muncul dari persembunyiannya. Purnama merah—sebuah keajaiban malam yang baru ia temui. Mata pemuda itu turut berpendar bak purnama merah di atas kepalanya. Kemudian, pada purnama merah itulah ia jatuh cinta, se jatuh-jatuhnya. “Jangkar sudah ku jatuhkan, layar telah ku tutup, kapal sudah bersauh di pulau ini, pulau yang melahirkan purnama merah.”

Ah! Dongeng itu, dongeng kesukannku. Cerita pengantar tidur yang semakin membuat rindu.

Rembulan, jalan-jalan, orang-orang, lagu, langit malam, mentari pagi, buku-buku yang ku baca, puisi, sajak-sajak cinta, dongeng masa kecil, kisah para wayang, bahkan  setiap cangkir kopi yang ku nikmati, segalanya mengingatkanku padamu.

Buruk kah itu? Silakan kau nilai sendiri. []
Purnabhakti, 10 September 2017.
DOV.